Creative Outdoor Billboard: Keripik Nangka
Oleh: Vania Alya Putri (1506720772)

Penjelasan:
  • ·         Pendekatan strategi kreatif yang saya pilih untuk konsep Outdoor Billboard ini adalah Strategi Generik dengan penekanan pada Diferensiasi Produk, yang mana menonjolkan perbedaan yang mencolok antara brand dan pesaingnya, namun tidak secara superior. Perbedaan utama antara produk Keripik Nangka dengan pesaingnya terletak pada proses pengolahan sehat yang coba ditawarkannya. Berbeda dengan pesaing yang diilustrasikan pada billboard diatas, meskipun memiliki rasa yang sama-sama enak, namun keripik Nangka jauh lebih baik dalam hal kualitas dan kesehatan.
  • ·         Ide kreatif atau Big Idea yang coba saya sampaikan pada Billboard ini adalah “Keripik Nangka merupakan snack ringan sehat namun tetap memiliki rasa yang enak, bahkan seenak junk food”. Selanjutnya, konsep yang saya gunakan untuk menyampaikan pesan tersebut adalah dengan membuat ilustrasi dari Keripik Nangka yang menggunakan packaging dari salah satu brand fast food yang populer dengan warna merahnya tersebut. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada audiens bahwa Keripik Nangka memiliki rasa yang enak, seenak brand fast food terkemuka tersebut. Selain itu, ilustrasi diatas juga didukung dengan copywriting yang semakin mempertegas bahwa Keripik Nangka memang memiliki rasa yang enak, namun tetap merupakan snack ringan yang baik untuk kesehatan
  • ·         Bahasa yang saya pilih adalah bahasa Inggris, karena segmentasi audiens mengenah keatas yang coba dijangkau oleh branding baru dari Keripik Nangka ‘Jackfruit Chips’ ini. Pemilihan konsep ini juga bertujuan untuk semakin menggeser pandangan audiens mengenai keripik Nangka yang hanya merupakan makanan oleh-oleh tradisional menjadi Keripik Nangka yang merupakan snack ringan sehat modern yang dapat di konsumsi untuk sehari-hari. Selain itu, bahasa Inggris dipilih juga karena sifatnya yang Universal sehingga diharapkan juga dapat menarik perhatian warga asing yang sekedar berlibur.
  • ·         Elemen-elemen utama yang terdapat dalam Billboard antara lain adalah ilustrasi Keripik Nangka dalam packaging fast food, Copywriting penjelasan singkat, Logo dari branding baru Keripik Nangka “Jackfruit Chips”, dan Logo 100% Cinta Indonesia, yang melambangkan bahwa produk ini merupakan produk asli Indonesia. Elemen yang terdapat dalam Billboard ini sengaja dibuat sederhana dan terfokus pada elemen utama yaitu ilustrasi Keripik Nangka didalam packaging Merah tersebut. Hal ini mempertimbangkan alasan bahwa biasanya sebuah Billboard dipasang pada jalan raya yang sibuk, yang mana para pengendara mobil/motor tidak akan memiliki waktu banyak untuk memperhatikan sebuah Billboard. Alasan yang sama juga berlaku pada mengapa Copywriting saya buat sesingkat mungkin agar audiens dapat langsung menerima pesan di Billboard dan menginterpretasikannya kemudian.
  • ·         Typografi yang digunakan dalam Billboard saya pilih untuk sederhana namun tetap balance, yang mana ‘berat’ disebelah kanan untuk menyeimbangi gambar yang besar di sebelah kiri. Font yang saya gunakan adalah Brandon Printed untuk memberikan kesan raw dan industrial, yang juga selaras dengan logo brand.
  • ·         Warna yang saya pilih untuk Billboard ini adalah warna Hijau dengan sedikit gradient untuk background, karena Hijau merupakan warna komplementer dari warna Merah, yang mana merupakan warna dari packaging fast food yang saya pilih. Selanjutnya saya memilih warna sederhana Putih untuk tagline dari Billboard agar memudahkan audiens untuk menangkap dan membaca pesan. Logo memiliki warna Hitam, untuk memberikan keserasian dengan warna Putih dan karena mudah dibaca.
  •  





Public Service Announcement - Child Trafficking

Gianella Carmella        (1506720601)
Vania Alya Putri           (1506720772)
Karina Dwi Pramesti    (1506720690)
Triana Dewi Iriani        (1506720620)

Penjelasan :
Poster ini merupakan bentuk campaign tentang child trafficking di Indonesia yang keberadaannya masih kurang diperhatikan oleh masyarakat. Padahal setiap tahunnya, jumlah kasus perdagangan anak selalu mengalami kenaikan. Pada dasarnya perdagangan anak adalah perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, atau kecurangan. Di Indonesia kasus yang sering terjadi menyangkut perdagangan anak adalah anak-anak yang di perdagangkan dijadikan budak, pekerja seks komersil, pengemis, atau perdagangan bayi.
Berangkat dari kasus tersebut, kami membuat poster yang terdiri dari empat desain. Masing-masing mewakili kasus yang marak terjadi di Indonesia terkait perdagangan anak. Keempat desain tersebut didominasi warna merah yang bermakna berani, dan tanda peringatan. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian masyarakat bahwa kasus ini harus segera kita perhatikan. Sementara itu, objek pada poster berwarna hitam karena warna hitam merepresentasikan kegelapan, ketakutan, emosional, dan tanda berakhirnya kehidupan. Ini melambangkan betapa kasus ini dapat membunuh generasi muda yang mungkin bisa menjadi harapan generasi bangsa Indonesia. Warna tersebut kami pilih karena sesuai dengan situasi yang terjadi saat ini bahwa perdagangan anak adalah tindakan yang ilegal dan sebagai peringatan untuk masyarakat agar lebih aware dan peduli terhadap isu ini.
Elemen utama yang terdapat pada poster ini adalah gambar bayi dan anak kecil yang menjadi objek perdagangan. Kemudian, di setiap anak dan bayi tersebut terdapat price tag yang menggambarkan bahwa setiap anak tersebut betul-betul diperjual belikan layaknya barang. Jenis font yang kami gunakan untuk poster ini adalah jenis Sans Serif agar memberikan kesan yang tegas. Kemudian, kami memasukan hashtag atau tagar #IAMNOTBUYING yang secara harfiah berarti saya tidak membeli. Ini bermakna agar masyarakat turut menolak kegiatan perdagangan anak di Indonesia. Elemen pendukung seperti trolley belanja, handphone, dan gambar psk dewasa digunakan untuk menegaskan pesan yang ingin kita sampaikan.

Personal Logo - Karina Pramesti
Oleh: Vania Alya Putri (1506720772)

Penjelasan:
  •        Konsep yang saya pilih untuk Personal Logo ini adalah konsep minimalis dengan sedikit tambahan aksen dan tekstur pada beberapa elemen dari logo ini, sehingga logo ini dapat merepresentasikan pribadi Nina yang sederhana namun tetap memiliki keunikannya sendiri yang membedakannya dengan individu lain.
  •     Elemen-elemen utama yang membentuk Personal Logo ini antara lain adalah background utama; illustrasi sederhana sebagai simbol utama individu Nina; illustrasi lingkaran sebagai badge dari simbol utama; dan yang terakhir adalah typografi dari nama panjang Nina yaitu “KARINA PRAMESTI”. Elemen yang terdapat pada Logo ini sengaja dibuat sesederhana mungkin untuk mendapatkan keselarasan dari pribadi dan cara berpakaian Nina yang cenderung minimal namun tetap elegan dengan sentuhan aksesoris yang dilambangkan dengan pemilihan warna Logo ini.
  •        Simbol utama dari Personal Logo ini merupakan sebuah illustrasi sederhana dari Nina, yaitu seorang perempuan yang dalam kesehariannya selalu mengenakan Hijab, sehingga hal ini merupakan salah satu faktor utama yang membentuk identitas dan ciri khas dari pribadi Nina. Illustrasi yang menjadi simbol utama dalam Logo ini sengaja saya buat se-minimalis mungkin untuk menghidari kesan yang terlalu ramai atau over, karena hal ini tidak sesuai dengan kepribadian Nina, setidaknya menurut pendapat saya.   
  •          Warna yang saya pilih untuk Personal Logo ini antara lain adalah warna Ecru dengan tekstur sederhana dari kertas sebagai background utama dari Logo untuk memberikan kesan yang sederhana namun tetap memberikan ciri khas tertentu. Selanjutnya untuk illustrasi dari lingkaran yang mengelilingi simbol utama, saya memilih warna Rose Gold untuk memberikan kesan yang feminim dan elegan. Dan yang terakhir saya memilih warna Hitam untuk elemen utama, yaitu illustrasi Nina dan typografi dari nama lengkap Nina, untuk memberikan kontras dari warna-warna lainnya namun tetap minimalis untuk memberikan kesan yang bersifat bold namun tidak berlebihan. Pemilihan warna-warna tersebut saya pilih untuk menyesuaikan dengan pribadi, penampilan fisik, dan sifat dari Nina.
            Konvergensi media memunculkan dua konsep baru dalam kebudayaan manusia, dua diantaranya adalah konsep Transmedia Storytelling dan Pop Cosmopolitanism.
Transmedia Storytelling
            Lahirnya konvergensi media memungkinkan beberapa media platform yang berbeda untuk terhubung satu sama lain dan menciptakan sebuah media platform yang luas dan terintegrasi, sehingga lahirlah sebuah konsep Transmedia Storytelling. Transmedia Storytelling merupakan proses di mana unsur-unsur yang tidak terpisahkan dari sebuah cerita fiksi disebarkan secara sistematis di beberapa channel, dengan tujuan menciptakan pengalaman hiburan terpadu dan terkoordinasi (Jenkins, 2007). Konsep ini sering ditemukan pada produksi global blockbuster beserta franchise-nya, dimana jalannya sebuah cerita fiksi dapat dikemas secara terintegrasi dan didistibusikan untuk beragam channel berbeda mulai dari Buku, Film, Video Games, sampai Wahana pada sebuah Theme Park.

Menurut Jenkins (2007), cerita Transmedia tidak didasarkan pada karakter individu atau plot yang spesifik, melainkan sebuah dunia fiksi yang kompleks yang dapat memuat beberapa karakter yang saling terkait beserta cerita mereka masing-masing. Dunia fiksi yang dihasilkan dari cerita Transmedia tersebut seringkali begitu kompleks sehingga menyisakan potential plot yang tidak dapat sepenuhnya diceritakan. Hal ini mendorong para pembacanya untuk mengembangkan cerita tersebut melalui spekulasi mereka sendiri, seperti yang sering ditemukan dalam istilah fan fiction.
Pop Cosmopolitanism
            Perubahan yang terjadi pada jalannya arus informasi, media dan kebudayaan merupakan salah satu dampak yang disebabkan oleh konvergensi media. Menurut Jenkins (2004) terdapat dua kekuatan utama yang saling mempengaruhi arus informai di era konvergensi, yaitu corporate corvengece dan grassroots convergence. Corporate convergence merupakan konglomerasi media yang mengatur arus konten media pada beragam platform, sedangkan Grassroots convergence merupakan perananan penting dari pengguna media digital dalam memproduksi, mendistribusi, dan menerima konten media.  Kedua kekuatan ini menghasilkan apa yang disebut dengan global convergence, yaitu arus multidirectional dari kebudayaan di seluruh dunia (Jenkins, 2004).
            Global convergence mendorong terbentuknya pop cosmopolitanism, yang merujuk pada bagaimana arus pertukaran budaya (popculture) dapat membentuk bentuk baru kesadaran global dan kompetensi budaya (Jenkins, 2004). Sebelumnya, Cosmopolitans itu sendiri dapat diartikan sebagai individu yang merangkul perbedaan budaya, dimana ia berusaha melepaskan diri dari budaya masyarakat lokal mereka untuk memasuki lingkungan budaya luar yang lebih luas. Salah satu contoh dari Pop Cosmopolitanism adalah bagaimana para remaja di Indonesia seringkali merujuk pada budaya Amerika, dan sebaliknya, para remaja Amerika yang sering membedakan diri mereka dengan merujuk pada budaya Asia khususnya Jepang.

Contoh dalam Dunia Periklanan


            Dalam dunia periklanan, khususnya dalam bidang Marketing, salah satu perusahaan entertainment terbesar yang terbilang sukses dalam bidang Transmedia Storytelling sekaligus Marketing kontennya adalah Marvel Universe. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana setiap karakter memiliki ceritanya sendiri, dan cerita-cerita tersebut saling berhubungan dan saling melengkapi sehingga membentuk sebuah dunia fiksi yang kompleks.


Marketingnya itu sendiri terletak pada bagaimana dalam setiap cuplikan akhir film garapan Marvel, terdapat sebuah hint atau clue atas apa yang akan terjadi pada film selanjutnya, yang biasa disebut Post-Credit Scene. Strategi ini dinilai efektif karena terbukti dapat mendorong penontonnya untuk mencari kelanjutan cerita dan akhirnya memutuskan untuk menyaksikan Sequel dari film tersebut.


            Contoh lain yang masih berhubungan dengan blockbuster Hollywood dapat ditemukan pada Advertising yang dilakukan oleh salah satu perusahaan media yang terbilang baru di Indonesia, yaitu iFlix:



Dalam beberapa Advertisement iFlix, baik itu berupa video, maupun poster (konvensional maupun digital), cuplikan acara TV maupun Film yang ditayangkan untuk menarik perhatian target audiences-nya adalah produk media dari Amerika. Hal ini berhubungan dengan konsep Pop Cosmopolitanism yang menunjukkan bahwa sebagian besar warga Indonesia, lebih memilih acara hiburan Barat khususnya Amerika dibanding produk media negaranya sendiri. Fenomena ini pun dilihat sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan dalam bidang marketing dari perusahaan iFlix tersebut.

Referensi:
Jenkins, H. (2007) 'Transmedia Storytelling 101'
Jenkins, H (2004). 'Pop cosmopolitanism: Mapping cultural flows in an age of media convergence'. In M. Suarez-Orozco & D. Qin-Hilliard, Globalization: Culture and Education in the New Millennium (pp 114-140). Ewing, NJ: University of California Press.
            Konvergensi media dalam perkembangannya telah menciptakan lingkungan Web 2.0, yang mana memungkinkan terjadinya kolaborasi online dan terjadinya proses saling berbagi informasi antar pengguna. Hal ini berhubungan dengan konsep produsage, yang sedikit demi sedikit mulai menggeser era industri ke arah era informasi, dimana para pengguna dengan bebas dapat memproduksi kontennya sendiri ataupun ikut dalam pembuatan dan praktik pengembangan konten kolaboratif yang ditemukan di lingkungan informasi kontemporer (Bruns, 2007). User-led content saat ini berlangsung di berbagai lingkungan online. Mulai dari konten individual yang dimuat di lingkungan blog, sampai situs kolaboratif terpusat seperti Wikipedia. Dari beragam lingkungan online tersebut, sering ditemukan adanya collective intelligence, dimana setiap orang memberikan informasi yang ia ketahui dan mengambil informasi yang tidak ia ketahui dari orang lain, karena tidak ada manusia yang mengetahui segala sesuatunya sendiri (Jenkins, 2006). Terbentuknya collective intelligence ini, mengimplikasikan cara-cara baru dari pada pengguna internet dalam mengumpulkan dan menyatukan sebuah informasi menjadi sebuah informasi yang utuh dan komprehensif. 

            Lingkungan Web 2.0 berhubungan erat dengan lairnya sebuah konsep baru yaitu Citizen Journalism, dimana pengguna dapat berperan sebagai jurnalis dan memproduksi beritanya sendiri, baik itu melalui media pribadinya seperti blog, maupun melalui kanal lain seperti misalnya kompasiana. Dalam praktiknya, tidak jarang penulisnya bukan berasal dari ‘background’ jurnalisme, namun dengan mudahnya distribusi global memungkinkan pendapat alternatif dari media besar ini untuk terjadi. Citizen journalism dapat juga dikatakan sebagai alternative journalism, yang mana sering membangun, memperdebatkan, dan mengkritik laporan jurnalistik-jurnalistik dari media mainstream. Namun, kritik akan minimnya ‘gatekeeper’ dan kurangnya akurasi yang ada didalam citizen journalism, dikhawatirkan akan membentuk pemahaman yang keliru bagi para pembacanya. Meskipun biasanya tersedia kolom komentar, sehingga pengguna lain dapat memberikan tanggapan dan masukan atau kritikan terhadap suatu berita amatir tersebut, tetapi pentingnya prinsip verifikasi dan akurasi dalam jurnalistik juga harus menjadi pertimbangan utama sebelum sebuah berita dipublikasikan.  
            Selain lahirnya citizen journalism di ranah digital, media massa konvensional juga mulai bertransformasi ke arah digital. Hal ini didorong oleh potensi besar yang dimiliki oleh media berbasis online. Besarnya angka pengguna internet di Indonesia dan dunia, menjadi faktor utama bergesernya media basis cetak ke arah online. Berhubungan dengan periklanan, komoditas yang ditawarkan media online kepada para pengiklan adalah traffic. Semakin tinggi traffic sebuah media online, maka semakin tinggi angka pendapatan yang akan diterima oleh sebuah media online. Selain itu, permintaan dari para pengguna yang tinggi akan sesuatu yang serba cepat dan ‘gratis’ juga mempengaruhi pergeseran yang terjadi pada media massa konvensional ke ranah digital.

Referensi:
Bruns, Axel (2007) Produsage: Towards a Broader Framework for User-Led Content Stanford d.School, An Introduction to Design Thinking: Process Guide https://dschool.stanford.edu/sandbox/groups/designresources/wiki/36873/attachments/74b3d/ModeGuideBOOTCAMP2010L.pdf
Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old Media and New Media Collide, (New York: New York University Press, 2006)
            Seperti yang telah kita ketahui pada bahasan-bahasan sebelumnya, konvergensi media dan perkembangannya membawa begitu banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Baik itu dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan terutama teknologi. Salah satu perubahan akibat konvergensi media yang akan dibahas kali ini adalah mengenai bagaimana konvergensi media mengubah peran khalayak dan mengaburkan batasan antara author dan reader.
            Didukung oleh konvergensi media yang melahirkan inovasi baru dalam bidang teknologi, seperti Smartphone, memungkinkan khalayak dimasa sekarang ikut berpartisipasi dan berinteraksi langsung baik itu dengan khalayak lainnya maupun dengan media platform digital. Fenomena ini selanjutnya dapat dikaji melalui konsep anthology yang dicetuskan oleh Milad Doueihi. Menurut Doueihi (2011), anthology dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang terbentuk oleh perangkaian berbagai potongan materi di bawah sebuah wadah pemersatu, dan berguna untuk individu maupun kelompok yang berkumpul dikarenakan oleh kesamaan kepentingan. Anthology itu sendiri merupakan sebuah metafora dan model yang efektif, yang menawarkan deskripsi dari berubahnya ruang antara penulis dan pembaca (Doueihi: 2011, dikutip dalam THE: 2011).  Dikarenakan perubahan tersebut, khalayak media dimasa sekarang dinilai lebih sesuai bila disebut dengan istilah pengguna (user).
            Selain merubah ruang antara produsen dan konsumen, konvergensi media juga melahirkan konsep baru yang disebut dengan User Empowerment. Konsep User Empowerment mengacu pada kemampuan individu, masyarakat dan kelompok untuk mengakses dan menggunakan kekuasaan pribadi/kolektif mereka, otoritas dan pengaruh, dan juga untuk memanfaatkan kekuatan tersebut ketika berhubungan dengan individu, lembaga atau masyarakat lain (Punie, 2011). Keadaan seperti ini ada karena konvergensi media yang memungkin pengguna, tidak hanya untuk menikmati konten yang tersedia pada media platform digital, namun juga ikut berpartisipasi aktif didalamnya. Bentuk partisipasi pengguna ini dapat berupa komentar, memproduksi ulang konten (seperti reblog pada Tumblr, atau retweet pada Twitter), sampai bahkan benar-benar memproduksi kontennya sendiri.


Konten yang dihasilkan pengguna dapat sesederhana 140 kata tweet, sampai yang serumit webseries. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi yang semakin memudahkan penggunanya untuk dapat menyalurkan beragam minat dan kreativitasnya. Dengan hanya bermodalkan sebuah smartphone yang telah dilengkapi dengan video-camera­ beserta aplikasi editornya, pengguna dapat menghasilkan beragam jenis konten yang nantikan dapat dibagikan melalui online social media pribadinya.
            Melihat perubahan yang terjadi akibat konvergensi media ini, dalam dunia periklanan telah dikenal konsep User Generated Advertising, seperti yang terapkan oleh salah satu perusahaan FMCG besar yaitu Doritos:
Dalam campaign tersebut, perusahaan Doritos mendorong konsumennya yang sebagian besar merupakan pengguna media untuk memproduksi iklannya sendiri. Iklan amatir hasil pengguna tersebut kemudian di-upload ke laman Facebook resmi dari Doritos. Setelah masa pengumpulan iklan berupa video tersebut berakhir, akan dipilih satu pemenang yang iklannya akan ditayang pada acara Superbowl 2012. Voting untuk hasil akhir dari kompetisi online ini ditentukan oleh perolehan suara terbanyak yang diberikan oleh pengguna lainnya.
            Advertising Campaign ini memanfaatkan keadaan dimana pengguna media saat ini sangat menikmati power nya untuk bisa berkreasi tanpa harus melalui segelintir gatekeeper seperti pada media mainstream, maupun untuk menyuarakan pilihannya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan terbukanya voting maupun perolehan suara sementara dari masing-masing iklan amatir tersebut sampai pada akhirnya terpilihlah iklan terbaik.
            Konvergensi media saat ini telah menciptakan ruang baru bagi para penggunanya untuk dapat berkreasi dan menyuarakan pendapat pribadinya. Namun, batasan-batasan dalam penggunaan media harus tetap diperhatikan agar terciptanya ruang Web 2.0 yang positif dan berdampak baik bagi semua penggunanya.

Referensi
[1] Doueihi, M. (2011). Digital cultures. 1st ed. Cambridge: Harvard University Press.
[2] Gordon, Janey (2007), The Mobile Phone and the Public Sphere: Mobile Phone Usage in Three Critical Situations, Convergence 13/3. [Online] Available at: http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1354856507079181 [Accesses Apr. 2017]
[3] Punie, Y. (2011) 'Introduction: New Media Technologies and User Empowerment. Is there a Happy Ending?
[4] Times Higher Education (THE). (2011). Digital Cultures. [Online] Available at: https://www.timeshighereducation.com/books/digital-cultures/416489.article [Accessed Apr. 2017].
         Perkembangan teknologi, seiringan dengan berjalannya waktu, terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Berbagai teknologi baru senantiasa hadir untuk menawarkan inovasi yang akan mempermudah manusia untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Teknologi-teknologi yang telah ada sebelumnya pun, kini hadir dalam sebuah bentuk penggabungan baru yang dikenal dengan istilah konvergensi media.
Konvergensi media itu lebih dari sekedar pergeseran teknologi. Konvergensi mengubah hubungan antara teknologi yang sudah ada, industri, pasar, genre dan penonton. Konvergensi merujuk ke suatu proses, tetapi tidak titik akhir. Berkat perkembangan saluran dan portabilitas komputasi dan telekomunikasi teknologi baru, kita memasuki era dimana Media akan berada di mana pun dan kita akan menggunakan semua jenis media dalam hubungan dengan satu sama lain. (Jenkins, 2004, p. 34)
Salah satu momen penting dalam sejarah perkembangan teknologi dan konvergensi media adalah pada bulan Januari 2007,  ketika Steve Jobs memperkenalkan produk iPhone pertama kalinya kepada khalayak. iPhone merupakan sebuah gadget yang menggabungkan tiga produk menjadi satu, yaitu: sebuah ipod, sebuah ponsel, dan sebuah perangkat untuk mengakses internet, dengan browser cerdas dan elegan, dan dilengkapi pula dengan kemampuan lain seperti built-in maps, weather, stock, and e-mail (Zittrain, 2008). Dengan demikian, iPhone memungkinkan penggunanya untuk memiliki berbagai fungsi media lain seperti kamera, radio, televisi, internet dan pemutar musik hanya dalam satu gadget yang praktis.
            Namun, meskipun iPhone merupakan teknologi modern hasil konvergensi media, terdapat batasan-batasan dalam penggunaannya. Seperti yang dijelaskan Zittrain (2008), pengguna iPhone dihimbau untuk tidak melakukan “perubahan” sendiri kepada produk tersebut. Anda tidak diizinkan untuk menambahkan program untuk perangkat all-in-one yang Steve Jobs jual kepada anda ini. Fungsionalitasnya terkunci, meskipun Apple dapat mengubahnya melalui serangkaian update. Bahkan, bagi mereka yang mampu “mengotak-atik” kode agar memungkinkan iPhone untuk mendukung aplikasi yang lebih atau berbeda, Apple mengancam untuk mengubah iPhone menjadi iBrick. ­Hal ini dikarenakan berbagai alasan dan salah satunya adalah karena iPhone bukanlah produk generative yang mengundang inovasi dari penggunanya, melainkan produk yang preprogrammed untuk memberikan kenyamanan bagi penggunanya.
            Dalam dunia periklanan, teknologi konvergensi media berupa smartphone ini sering digunakan sebagai alat pendukung sebuah Advertising Campaign. Seperti salah satunya Integrated Marketing Campaign berbasis mobile dan aplikasu berikut ini yang diciptakan oleh salah satu perusahaan fast food terbesar di dunia, McDonald’s:

Salah satu alasan utama dari penggunaan smartphone sebagai alat pendukung Campaign tersebut adalah karena gadget ini dinilai praktis dan telah digunakan oleh hampir seluruh khalayak di dunia. Selain itu, apabila digali secara mendalam, penggunaan smartphone sebagai tools pembantu advertising campaign dapat menciptakan inovasi baru yang tentunya akan menarik perhatian dari target consumer. Seperti yang dapat dilihat dalam contoh Advertising Campaign diatas, dimana terjadinya penggabungan antara fungsi teknologi konvergensi media dan juga platform iklan tradisional seperti banner maupun poster. 
            Produk hasil konvergensi media seperti iPhone, merupakan hasil inovasi dari pemikiran ide manusia didalam usaha untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Namun, didalam penggunaannya, terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh penggunanya untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan, seperti kerusakan software pada all-in-one gadget tersebut.

Referensi:
Jenkins, Henry (2004), The cultural logic of media convergence, International Journal of Cultural Studies, Volume 7(1): 33–43.


Zittrain, J. (2008) "Introduction". In J. Zittrain The Future of The Internet And How To Stop It (p. 1-5) New Haven: Yale University Press.
            Konvergensi media, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan di minggu lalu, melalui new media menciptakan budaya baru yaitu “participatory culture”. Budaya ini lahir dipengaruhi erat dengan hadirnya media internet yang memungkinkan para konsumen untuk dapat memproduksi kontennya sendiri dan biasanya disebut dengan istilah “prosumer”. Berkembangnya prosumer di internet seperti sekarang ini ternyata tidak hanya memiliki dampak baik, namun juga memiliki dampak buruk. Dampak baik dari prosumer, seperti yang telah kita ketahui, adalah semakin berkembangnya kreatifitas dari konsumen, serta memudahkan konsumen untuk berekspresi dan didengar oleh banyak orang. Namun, dengan semakin mudahnya mengakses informasi maupun konten di internet, maka semakin banyak pula terjadi kasus pelanggaran hak cipta.
            Pelanggaran hak cipta adalah pengambilan atau penggunaan karya berhak cipta tanpa izin  dari pemegang hak cipta untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok tertentu. Pelanggaran hak cipta sering kali ditemukan dalam penggunaan internet, terutama pada platform-platform social media seperti Youtube, Instagram, Blogger, Wordpress, dan lain sebagainya. Banyak dari pengguna social media ini yang mengambil, menggunakan, atau mengunduh konten-konten tertentu tanpa mencantumkan nama dari pencipta asli konten tersebut. Selain itu, tidak sedikit juga pelanggaran hak cipta yang dinilai sangat merugikan pemegang hak ciptanya terutama secara materi seperti pembajakan Film maupun Musik pada situs-situs illegal, yang akan berdampak langsung pada penjualan dari konten asli yang di produksi oleh pemegang hak cipta. Hal ini dapat disebabkan juga oleh rendahnya pengaplikasian nyata dari regulasi maupun hukum yang mengatur mengenai pembajakan dan plagiarisme.
            “Patry ecplains fair use as integral to the social utility of copyright to “encourage..learned men to compose and write usefeul books” by allowing a second author to use, under certain circumstances, a portion of a prior author’s work, where the second author would himself produce a work promoting the goals of copyright (Patry 4-5).”
Selain adanya konsep hak cipta, terdapat juga konsep “fair use” dimana pengutipan atau penggunaan sebuah hasil karya untuk tujuan akademis dan tidak komersil diperbolehkan dengan syarat pencantuman referensi untuk menghindari plagiarisme. Contoh-contoh dari fair use ini, sering kita temui dalam lingkungan akademik dimana biasanya mahasiswa boleh menggunakan buku dari penulis sebelumnya sebagai referensi maupun argumen untuk melengkapi karya pribadinya sendiri dengan tidak lupa mencantumkan referensi dari buku apa yang dikutipnya tersebut.


            Kasus dari pelanggaran hak cipta tidak selalu menempatkan prosumer sebagai pelanggar maupun organisasi resmi dan ternama menjadi yang “dilanggar”. Sedikit berhubungan dengan dunia periklanan dan marketing atau promotion, terdapat satu kasus dimana perusahaan besar seperti Warner Bros  yang dituntut oleh Nyan Cat dan Keyboard Cat karena dianggap mengambil hasil karyanya tersebut tanpa izin. Dalam salah satu rangkaian Game  keluaran Warner Bros, Scribblenauts, perusahaan ini diduga telah menggunakan animasi Nyan Cat dan Keyboard Cat secara sengaja tanpa izin dari pemegang hak cipta untuk kepentingan promosi dan memasarkan game ini. Kasus ini akhirnya dapat diselesaikan dan kedua meme tersebut akan tetap digunakan untuk kepentingan games tersebut, namun para pencipta dari keduanya, Nyan Cat dan Keyboard Cat, sekarang akan diberikan bayaran akan penggunaan dari hasil karyanya tersebut.

Referensi:


            Sebelum menuju kepada bahasan konvergensi media, ada baiknya apabila secara singkat akan dibahas terlebih dahulu mengenai pernyataan dari McLuhan yaitu “Medium is the Message” dalam bukunya “Understanding Media”. McLuhan mengatakan bahwa “message” bukanlah konten atau isi dari apa yang disampaikan oleh media, melainkan merupakan perubahan apa yang  dibawa oleh media itu sendiri. Selain itu, McLuhan juga memberikan pengertian bahwa “medium” secara garis besar merupakan "any extension of ourselves"[1], dan berasal dari perubahan yang biasanya tidak terlihat jelas. Oleh karena suatu perubahan biasanya berasal dari ide baru atau inovasi baru yang diciptakan manusia, maka McLuhan berpendapat bahwa ide, penemuan, dan/atau inovasi dapat dikatakan sebagai media.


Sebagai ilustrasi atau contoh dari pembahasan diatas, adalah ditayangkannya film “talkie” pertama berjudul “The Jazz Singer” pada Oktober 1927 yang merubah segala aspek di dalam industry perfilman. Dari ilustrasi ini, maka dapat dilihat bahwa bagaimana tayangnya “The Jazz Singer” secara keseluruhan merupakan “medium”, dan perubahan terhadap standar baru dunia perfilman dunia (effect) yang timbul dari inovasi ini merupakan “message”.

            Setelah pembahasan “medium is the message”,  maka selanjutnya akan dibahas mengenai konvergensi media. Dalam bukunya “Convergence Culture: Where Old Media and New Media Collide”, Henry Jenkins menjelaskan konvergensi, yaitu dimana segala macam bentuk dari konten media ditempatkan dalam seluruh media platform secara maksimal[2]. Terbentuknya konvergensi media dipengaruhi oleh kebutuhan manusia – baik itu manusia secara individual maupun sebuah perusahaan - untuk dapat menyebarluaskan ide-ide yang dimilikinya dan dapat diterima oleh sebanyak-banyaknya orang. Fenomena ini mendorong terciptanya teknologi baru yang merupakan intergrasi dari media-media yang ada seperti, smartphone. Dan jika dikaitkan dengan penyataan “medium is the message” diatas, maka dapat disimpulkan bahwa media platforms secara keselurahan merupakan “perpanjangan tangan” dari masyarakat untuk mempermudah komunikasi saat ini dan akan terus senan tiasa berubah seiring dengan perkembangan zaman.

            Terciptanya konvergensi media juga sangat berpengaruh dalam dunia advertising. New media, terutama internet, sangat mempermudah proses pencarian database dari target audiences-nya. Dengan mengetahui persis siapa saja yang melihat, mengunjungi atau men-click laman mereka, maka pemasar akan dengan mudah mengetahui siapa calon pembeli mereka dan apa saja yang mereka minati melalui data pada internetnya. Selain itu, new media juga menciptakan kebudayaan baru, dimana konsumen dapat ikut secara aktif berpartisipasi dan membuat kontennya sendiri atau dinamakan participatory culture. Fenomena ini dimanfaatkan dengan baik oleh Samsung dengan campaignnya #IWriteInArabic sebagai promotion tool untuk salah satu produk terbarunya yaitu Samsung Note 4
Dalam campaign tersebut dapat dilihat, bahwa dengan adanya perubahan – berkurangnya penggunaan huruf Arab – maka muncullah solusi dan inovasi baru yang berasal hanya dari satu produk teknologi konvergensi media, yaitu Samsung Note 4 itu sendiri. Pada campaign ini juga konsumen secara aktif dilibatkan, yaitu dengan ikut menyebarluaskan pesan campaign #IWriteInArabic melalui platform Media Sosial Twitter. Selain itu, huruf-huruf Arab tadi juga didesign ulang secara lebih modern untuk menyesuaikan target consumer Samsung, sehingga semakin banyak konsumen yang ikut berpartisipasi dengan mengganti display picture pada lama Facebooknya.

            Dengan melihat campaign diatas, dapat dilihat bahwa bagaimana kedua pembahasan sebelumnya adalah sangat relevan dan dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, dimana perubahan terjadi hampir setiap hari dalam aspek apapun yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat dan perkembangan teknologi & komunikasi masyarakat.

Referensi:
[1] Federman, M. (2004) What is the Meaning of the Medium is the Message?
[2] Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old Media and New Media Collide, (New York: New York University Press, 2006)





Jika melihat hubungan antara kehidupan sosial sebagian besar manusia dan teknologi pada masa sekarang ini, dapat dikatakan, bahwa kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan. Seperti apa yang disampaikan oleh pandangan technological determinism, bahwa teknologi dianggap sebagai faktor utama berubahnya pola berpikir dan kehidupan manusia modern, dan segala aspek kehidupannya tidak dapat dipisahkan oleh peran dari teknologi. Namun, pandangan tersebut banyak menuai kritik dan salah satunya adalah padangan SCOT (Social Construction of Technology) yang berpendapat bahwa justru teknologi itu sendiri diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya, dan bukan sebaliknya.
            Menurut saya, manusia dan teknologi saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam argumennya, Raymond Williams memandang bahwa teknologi merupakan proses yang sengaja dikembangkan karena adanya "kebutuhan sosial, tujuan dan praktek," dan oleh karena itu, teknologi itu sendiri adalah bagian dari proses memenuhi kebutuhan tersebut[1]. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi dalam perkembangannya juga sangat mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi pada kehidupan manusia. Sehingga, dapat dikatakan bahwa seiringan dengan berkembangnya teknologi yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya, disitu pula terbentuklah pola berpikir baru yang sekaligus merubah kehidupan sosial manusia. Pola berpikir manusia yang semakin kompleks, akan menciptakan kebutuhan baru yang mendorong terciptanya teknologi baru untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan begitulah seterusnya.
            Salah satu contoh yang dapat diambil dari contoh diatas terciptanya tablet keluaran Apple yaitu iPad. Produk tablet ini mulai dijual kepasaran sejak tahun 2010, dan ternyata jauh sebelum diciptakannya teknologi tablet tersebut, kebudayaan manusia sebenarnya telah lama disuguhkan dengan bayangan bagaimana alat komunikasi masa depan yang akan dengan mudah menyediakan aplikasi tatap muka secara langsung. Hal ini dapat dilihat pada film ber-genre Sci-Fi yang disutradai oleh Stanley Kubrick yaitu “2001: A Space Odyssey” yang dirilis pada tahun 1968.
Terlepas dari bagaimana hal ini merupakan suatu ketidak-sengajaan atau tidak, namun dapat kita lihat bahwa pola pikir manusia telah jauh mendahului dari terciptanya teknologi itu sendiri.
Meskipun demikian, pengaplikasian teknologi ini dalam kehidupan manusia sehari-hari juga ternyata merubah kehidupan sosial manusia seperti bergesernya budaya kekeluaragaan dan semakin tingginya sifat individualistis bahkan saat masa anak-anak seperti yang telah dibuktikan dalam Social Experiment ini:


            Setelah melihat bagaimana teknologi dan kemampuan manusia yang semakin berkembang dengan pesat seiring berjalannya waktu, maka inovasi dan pemanfaatan teknologi dari dunia periklanan juga sudah semakin maju. Salah satu contoh Advertising Campaign yang menurut saya memanfaatkan teknologi komunikasi massa dengan sangat baik, dan berhasil menghubungkan puluhan ribu orang untuk bergabung adalah Canon “Photochain” Campaign

Dalam campaign ini digambarkan bahwa untuk dapat mencapai tujuannya, yakni tidak sekedar mempromosikan produknya namun juga menarik masyarakat untuk ikut dan bergabung dalam sebuah komunitas, Canon menciptakan sebuah teknologi media sosial “Photochain”. Dan dalam campaign ini juga tergambar bahwa mayoritas masyarakat telah terpapar dan mengerti tujuan dari media sosial ini, sehingga mereka memutuskan untuk ikut dan berpartisipasi dalam Campaign ini.
            Pada dasarnya, teknologi merupakan produk ciptaan manusia dengan tujuan positif yakni sebagai alat pemenuh kebutuhan. Namun, dalam penggunaanya, tidak sedikit orang yang justru mengalami ketergantungan akan teknologi dan akhirnya terjadi determinasi teknologi yang bisa berdampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Referensi:
[1] Raymond Williams "The Technology and the Society". Retrieved from http://www.asu.edu/courses/fms351vm/total-readings/fms351-L03-reading01.pdf

http://abcnews.go.com/Technology/apple-ipad-samsung-galaxy-stanley-kubrick-showed-tablet/story?id=14387499
Testing out my new bloggggg