User Empowerment: New Audiences

0 Comments
            Seperti yang telah kita ketahui pada bahasan-bahasan sebelumnya, konvergensi media dan perkembangannya membawa begitu banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Baik itu dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan terutama teknologi. Salah satu perubahan akibat konvergensi media yang akan dibahas kali ini adalah mengenai bagaimana konvergensi media mengubah peran khalayak dan mengaburkan batasan antara author dan reader.
            Didukung oleh konvergensi media yang melahirkan inovasi baru dalam bidang teknologi, seperti Smartphone, memungkinkan khalayak dimasa sekarang ikut berpartisipasi dan berinteraksi langsung baik itu dengan khalayak lainnya maupun dengan media platform digital. Fenomena ini selanjutnya dapat dikaji melalui konsep anthology yang dicetuskan oleh Milad Doueihi. Menurut Doueihi (2011), anthology dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang terbentuk oleh perangkaian berbagai potongan materi di bawah sebuah wadah pemersatu, dan berguna untuk individu maupun kelompok yang berkumpul dikarenakan oleh kesamaan kepentingan. Anthology itu sendiri merupakan sebuah metafora dan model yang efektif, yang menawarkan deskripsi dari berubahnya ruang antara penulis dan pembaca (Doueihi: 2011, dikutip dalam THE: 2011).  Dikarenakan perubahan tersebut, khalayak media dimasa sekarang dinilai lebih sesuai bila disebut dengan istilah pengguna (user).
            Selain merubah ruang antara produsen dan konsumen, konvergensi media juga melahirkan konsep baru yang disebut dengan User Empowerment. Konsep User Empowerment mengacu pada kemampuan individu, masyarakat dan kelompok untuk mengakses dan menggunakan kekuasaan pribadi/kolektif mereka, otoritas dan pengaruh, dan juga untuk memanfaatkan kekuatan tersebut ketika berhubungan dengan individu, lembaga atau masyarakat lain (Punie, 2011). Keadaan seperti ini ada karena konvergensi media yang memungkin pengguna, tidak hanya untuk menikmati konten yang tersedia pada media platform digital, namun juga ikut berpartisipasi aktif didalamnya. Bentuk partisipasi pengguna ini dapat berupa komentar, memproduksi ulang konten (seperti reblog pada Tumblr, atau retweet pada Twitter), sampai bahkan benar-benar memproduksi kontennya sendiri.


Konten yang dihasilkan pengguna dapat sesederhana 140 kata tweet, sampai yang serumit webseries. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi yang semakin memudahkan penggunanya untuk dapat menyalurkan beragam minat dan kreativitasnya. Dengan hanya bermodalkan sebuah smartphone yang telah dilengkapi dengan video-camera­ beserta aplikasi editornya, pengguna dapat menghasilkan beragam jenis konten yang nantikan dapat dibagikan melalui online social media pribadinya.
            Melihat perubahan yang terjadi akibat konvergensi media ini, dalam dunia periklanan telah dikenal konsep User Generated Advertising, seperti yang terapkan oleh salah satu perusahaan FMCG besar yaitu Doritos:
Dalam campaign tersebut, perusahaan Doritos mendorong konsumennya yang sebagian besar merupakan pengguna media untuk memproduksi iklannya sendiri. Iklan amatir hasil pengguna tersebut kemudian di-upload ke laman Facebook resmi dari Doritos. Setelah masa pengumpulan iklan berupa video tersebut berakhir, akan dipilih satu pemenang yang iklannya akan ditayang pada acara Superbowl 2012. Voting untuk hasil akhir dari kompetisi online ini ditentukan oleh perolehan suara terbanyak yang diberikan oleh pengguna lainnya.
            Advertising Campaign ini memanfaatkan keadaan dimana pengguna media saat ini sangat menikmati power nya untuk bisa berkreasi tanpa harus melalui segelintir gatekeeper seperti pada media mainstream, maupun untuk menyuarakan pilihannya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan terbukanya voting maupun perolehan suara sementara dari masing-masing iklan amatir tersebut sampai pada akhirnya terpilihlah iklan terbaik.
            Konvergensi media saat ini telah menciptakan ruang baru bagi para penggunanya untuk dapat berkreasi dan menyuarakan pendapat pribadinya. Namun, batasan-batasan dalam penggunaan media harus tetap diperhatikan agar terciptanya ruang Web 2.0 yang positif dan berdampak baik bagi semua penggunanya.

Referensi
[1] Doueihi, M. (2011). Digital cultures. 1st ed. Cambridge: Harvard University Press.
[2] Gordon, Janey (2007), The Mobile Phone and the Public Sphere: Mobile Phone Usage in Three Critical Situations, Convergence 13/3. [Online] Available at: http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1354856507079181 [Accesses Apr. 2017]
[3] Punie, Y. (2011) 'Introduction: New Media Technologies and User Empowerment. Is there a Happy Ending?
[4] Times Higher Education (THE). (2011). Digital Cultures. [Online] Available at: https://www.timeshighereducation.com/books/digital-cultures/416489.article [Accessed Apr. 2017].


You may also like

No comments: