Konvergensi media memunculkan dua
konsep baru dalam kebudayaan manusia, dua diantaranya adalah konsep Transmedia Storytelling dan Pop Cosmopolitanism.
Transmedia Storytelling
Lahirnya konvergensi media
memungkinkan beberapa media platform yang berbeda untuk terhubung satu sama
lain dan menciptakan sebuah media platform yang luas dan terintegrasi, sehingga
lahirlah sebuah konsep Transmedia
Storytelling. Transmedia Storytelling merupakan proses di mana unsur-unsur
yang tidak terpisahkan dari sebuah cerita fiksi disebarkan secara sistematis di
beberapa channel, dengan tujuan
menciptakan pengalaman hiburan terpadu dan terkoordinasi (Jenkins, 2007).
Konsep ini sering ditemukan pada produksi global blockbuster beserta franchise-nya,
dimana jalannya sebuah cerita fiksi dapat dikemas secara terintegrasi dan
didistibusikan untuk beragam channel
berbeda mulai dari Buku, Film, Video Games, sampai Wahana pada sebuah Theme
Park.
Menurut
Jenkins (2007), cerita Transmedia tidak didasarkan pada karakter individu atau
plot yang spesifik, melainkan sebuah dunia fiksi yang kompleks yang dapat memuat
beberapa karakter yang saling terkait beserta cerita mereka masing-masing.
Dunia fiksi yang dihasilkan dari cerita Transmedia tersebut seringkali begitu
kompleks sehingga menyisakan potential
plot yang tidak dapat sepenuhnya diceritakan. Hal ini mendorong para pembacanya untuk mengembangkan cerita
tersebut melalui spekulasi mereka sendiri, seperti yang sering ditemukan dalam
istilah fan fiction.
Pop Cosmopolitanism
Perubahan
yang terjadi pada jalannya arus informasi, media dan kebudayaan merupakan salah
satu dampak yang disebabkan oleh konvergensi media. Menurut Jenkins (2004) terdapat
dua kekuatan utama yang saling mempengaruhi arus informai di era konvergensi,
yaitu corporate corvengece dan grassroots convergence. Corporate
convergence merupakan konglomerasi media yang mengatur arus konten media pada
beragam platform, sedangkan Grassroots convergence merupakan perananan penting dari
pengguna media digital dalam memproduksi, mendistribusi, dan menerima konten
media. Kedua kekuatan ini menghasilkan
apa yang disebut dengan global
convergence, yaitu arus multidirectional
dari kebudayaan di seluruh dunia (Jenkins, 2004).
Global convergence mendorong
terbentuknya pop cosmopolitanism, yang
merujuk pada bagaimana arus pertukaran budaya (popculture) dapat membentuk bentuk baru kesadaran global dan
kompetensi budaya (Jenkins, 2004). Sebelumnya, Cosmopolitans itu sendiri dapat
diartikan sebagai individu yang merangkul perbedaan budaya, dimana ia berusaha
melepaskan diri dari budaya masyarakat lokal mereka untuk memasuki lingkungan budaya
luar yang lebih luas. Salah satu contoh dari Pop Cosmopolitanism adalah
bagaimana para remaja di Indonesia seringkali merujuk pada budaya Amerika, dan
sebaliknya, para remaja Amerika yang sering membedakan diri mereka dengan
merujuk pada budaya Asia khususnya Jepang.
Contoh dalam Dunia Periklanan
Dalam dunia periklanan, khususnya
dalam bidang Marketing, salah satu perusahaan entertainment terbesar yang terbilang sukses dalam bidang Transmedia
Storytelling sekaligus Marketing kontennya adalah Marvel Universe. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana setiap
karakter memiliki ceritanya sendiri, dan cerita-cerita tersebut saling
berhubungan dan saling melengkapi sehingga membentuk sebuah dunia fiksi yang
kompleks.
Marketingnya
itu sendiri terletak pada bagaimana dalam setiap cuplikan akhir film garapan
Marvel, terdapat sebuah hint atau clue atas apa yang akan terjadi pada
film selanjutnya, yang biasa disebut Post-Credit
Scene. Strategi ini dinilai efektif karena terbukti dapat mendorong
penontonnya untuk mencari kelanjutan cerita dan akhirnya memutuskan untuk menyaksikan
Sequel dari film tersebut.
Contoh lain yang masih berhubungan
dengan blockbuster Hollywood dapat
ditemukan pada Advertising yang
dilakukan oleh salah satu perusahaan media yang terbilang baru di Indonesia,
yaitu iFlix:
Dalam
beberapa Advertisement iFlix, baik itu
berupa video, maupun poster (konvensional maupun digital), cuplikan acara TV
maupun Film yang ditayangkan untuk menarik perhatian target audiences-nya
adalah produk media dari Amerika. Hal ini berhubungan dengan konsep Pop
Cosmopolitanism yang menunjukkan bahwa sebagian besar warga Indonesia, lebih
memilih acara hiburan Barat khususnya Amerika dibanding produk media negaranya
sendiri. Fenomena ini pun dilihat sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan dalam
bidang marketing dari perusahaan iFlix tersebut.
Referensi:
Jenkins,
H. (2007) 'Transmedia Storytelling 101'
Jenkins,
H (2004). 'Pop cosmopolitanism: Mapping cultural flows in an age of media
convergence'. In M. Suarez-Orozco & D. Qin-Hilliard, Globalization: Culture
and Education in the New Millennium (pp 114-140). Ewing, NJ: University of
California Press.