Perkembangan teknologi, seiringan dengan berjalannya
waktu, terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Berbagai teknologi baru senantiasa
hadir untuk menawarkan inovasi yang akan mempermudah manusia untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari. Teknologi-teknologi yang telah ada sebelumnya pun,
kini hadir dalam sebuah bentuk penggabungan baru yang dikenal dengan istilah
konvergensi media.
Konvergensi media itu lebih dari sekedar pergeseran
teknologi. Konvergensi mengubah hubungan antara teknologi yang sudah ada, industri,
pasar, genre dan penonton. Konvergensi merujuk ke suatu proses, tetapi tidak
titik akhir. Berkat perkembangan saluran dan portabilitas komputasi dan
telekomunikasi teknologi baru, kita memasuki era dimana Media akan berada di
mana pun dan kita akan menggunakan semua jenis media dalam hubungan dengan satu
sama lain. (Jenkins, 2004, p. 34)
Salah satu momen penting dalam sejarah perkembangan teknologi
dan konvergensi media adalah pada bulan Januari 2007, ketika Steve Jobs memperkenalkan produk iPhone
pertama kalinya kepada khalayak. iPhone merupakan sebuah gadget yang menggabungkan tiga produk menjadi satu, yaitu: sebuah ipod,
sebuah ponsel, dan sebuah perangkat untuk mengakses internet, dengan browser
cerdas dan elegan, dan dilengkapi pula dengan kemampuan lain seperti built-in maps, weather, stock, and e-mail (Zittrain, 2008). Dengan
demikian, iPhone memungkinkan penggunanya untuk
memiliki berbagai fungsi media lain seperti kamera, radio, televisi, internet
dan pemutar musik hanya dalam satu gadget
yang praktis.
Namun,
meskipun iPhone merupakan teknologi modern hasil konvergensi media, terdapat
batasan-batasan dalam penggunaannya. Seperti yang dijelaskan Zittrain (2008), pengguna
iPhone dihimbau untuk tidak melakukan “perubahan” sendiri kepada produk
tersebut. Anda tidak diizinkan untuk menambahkan program untuk perangkat all-in-one yang Steve Jobs jual kepada anda
ini. Fungsionalitasnya terkunci, meskipun Apple
dapat mengubahnya melalui serangkaian update. Bahkan, bagi mereka yang mampu “mengotak-atik”
kode agar memungkinkan iPhone untuk mendukung aplikasi yang lebih atau berbeda,
Apple mengancam untuk mengubah iPhone menjadi iBrick. Hal ini dikarenakan berbagai alasan dan salah satunya
adalah karena iPhone bukanlah produk generative
yang mengundang inovasi dari penggunanya, melainkan produk yang preprogrammed untuk memberikan
kenyamanan bagi penggunanya.
Dalam
dunia periklanan, teknologi konvergensi media berupa smartphone ini sering digunakan sebagai alat pendukung sebuah Advertising Campaign. Seperti salah
satunya Integrated Marketing Campaign
berbasis mobile dan aplikasu berikut ini
yang diciptakan oleh salah satu perusahaan fast
food terbesar di dunia, McDonald’s:
Salah satu alasan utama dari penggunaan smartphone sebagai alat pendukung
Campaign tersebut adalah karena gadget ini
dinilai praktis dan telah digunakan oleh hampir seluruh khalayak di dunia.
Selain itu, apabila digali secara mendalam, penggunaan smartphone sebagai tools pembantu advertising campaign
dapat menciptakan inovasi baru yang tentunya akan menarik perhatian dari target consumer. Seperti yang dapat dilihat dalam contoh Advertising Campaign diatas, dimana terjadinya penggabungan antara fungsi teknologi konvergensi media dan juga platform iklan tradisional seperti banner maupun poster.
Produk
hasil konvergensi media seperti iPhone, merupakan
hasil inovasi dari pemikiran ide manusia didalam usaha untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Namun, didalam penggunaannya, terdapat batasan-batasan yang harus
diperhatikan oleh penggunanya untuk menghindari berbagai hal yang tidak
diinginkan, seperti kerusakan software
pada all-in-one gadget tersebut. Referensi: Jenkins, Henry (2004), The cultural logic of media convergence, International Journal of Cultural Studies, Volume 7(1): 33–43.
Zittrain, J. (2008) "Introduction". In J. Zittrain The Future of The Internet And How To Stop It (p. 1-5) New Haven: Yale University Press.
Konvergensi
media, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan di minggu lalu, melalui new
media menciptakan budaya baru yaitu “participatory culture”. Budaya ini lahir
dipengaruhi erat dengan hadirnya media internet yang memungkinkan para konsumen
untuk dapat memproduksi kontennya sendiri dan biasanya disebut dengan istilah “prosumer”.
Berkembangnya prosumer di internet seperti sekarang ini ternyata tidak hanya memiliki
dampak baik, namun juga memiliki dampak buruk. Dampak baik dari prosumer,
seperti yang telah kita ketahui, adalah semakin berkembangnya kreatifitas dari
konsumen, serta memudahkan konsumen untuk berekspresi dan didengar oleh banyak
orang. Namun, dengan semakin mudahnya mengakses informasi maupun konten di
internet, maka semakin banyak pula terjadi kasus pelanggaran hak cipta.
Pelanggaran
hak cipta adalah pengambilan atau penggunaan karya berhak cipta tanpa izin dari pemegang hak cipta untuk kepentingan
pribadi dan/atau kelompok tertentu. Pelanggaran hak cipta sering kali ditemukan
dalam penggunaan internet, terutama pada platform-platform social media seperti
Youtube, Instagram, Blogger, Wordpress, dan lain sebagainya. Banyak dari
pengguna social media ini yang mengambil, menggunakan, atau mengunduh
konten-konten tertentu tanpa mencantumkan nama dari pencipta asli konten
tersebut. Selain itu, tidak sedikit juga pelanggaran hak cipta yang dinilai
sangat merugikan pemegang hak ciptanya terutama secara materi seperti
pembajakan Film maupun Musik pada situs-situs illegal, yang akan berdampak
langsung pada penjualan dari konten asli yang di produksi oleh pemegang hak
cipta. Hal ini dapat disebabkan juga oleh rendahnya pengaplikasian nyata dari
regulasi maupun hukum yang mengatur mengenai pembajakan dan plagiarisme.
“Patry
ecplains fair use as integral to the social utility of copyright to “encourage..learned
men to compose and write usefeul books” by allowing a second author to use,
under certain circumstances, a portion of a prior author’s work, where the
second author would himself produce a work promoting the goals of copyright
(Patry 4-5).”
Selain adanya konsep hak cipta, terdapat juga konsep
“fair use” dimana pengutipan atau
penggunaan sebuah hasil karya untuk tujuan akademis dan tidak komersil
diperbolehkan dengan syarat pencantuman referensi untuk menghindari plagiarisme.
Contoh-contoh dari fair use ini, sering kita temui dalam lingkungan akademik
dimana biasanya mahasiswa boleh menggunakan buku dari penulis sebelumnya
sebagai referensi maupun argumen untuk melengkapi karya pribadinya sendiri
dengan tidak lupa mencantumkan referensi dari buku apa yang dikutipnya
tersebut.
Kasus
dari pelanggaran hak cipta tidak selalu menempatkan prosumer sebagai pelanggar
maupun organisasi resmi dan ternama menjadi yang “dilanggar”. Sedikit
berhubungan dengan dunia periklanan dan marketing atau promotion, terdapat satu
kasus dimana perusahaan besar seperti Warner
Bros yang dituntut oleh Nyan Cat dan Keyboard Cat karena dianggap mengambil hasil karyanya tersebut
tanpa izin. Dalam salah satu rangkaian Game
keluaran Warner Bros, Scribblenauts, perusahaan ini diduga
telah menggunakan animasi Nyan Cat dan Keyboard Cat secara sengaja tanpa izin dari
pemegang hak cipta untuk kepentingan promosi dan memasarkan game ini. Kasus ini
akhirnya dapat diselesaikan dan kedua meme
tersebut akan tetap digunakan untuk kepentingan games tersebut, namun para
pencipta dari keduanya, Nyan Cat dan Keyboard Cat, sekarang akan diberikan
bayaran akan penggunaan dari hasil karyanya tersebut.
Sebelum menuju kepada bahasan
konvergensi media, ada baiknya apabila secara singkat akan dibahas terlebih
dahulu mengenai pernyataan dari McLuhan yaitu
“Medium is the Message” dalam bukunya
“Understanding Media”. McLuhan
mengatakan bahwa “message” bukanlah konten atau isi dari apa yang disampaikan
oleh media, melainkan merupakan perubahan apa yang dibawa oleh media itu sendiri. Selain itu,
McLuhan juga memberikan pengertian bahwa “medium” secara garis besar merupakan "any extension of ourselves"[1], dan berasal
dari perubahan yang biasanya tidak terlihat jelas. Oleh karena suatu perubahan
biasanya berasal dari ide baru atau inovasi baru yang diciptakan manusia, maka
McLuhan berpendapat bahwa ide, penemuan, dan/atau inovasi dapat dikatakan
sebagai media.
Sebagai
ilustrasi atau contoh dari pembahasan diatas, adalah ditayangkannya film “talkie”
pertama berjudul “The Jazz Singer” pada Oktober 1927 yang merubah segala aspek di
dalam industry perfilman. Dari ilustrasi ini, maka dapat dilihat bahwa bagaimana
tayangnya “The Jazz Singer” secara keseluruhan merupakan “medium”, dan perubahan
terhadap standar baru dunia perfilman dunia (effect) yang timbul dari inovasi ini merupakan “message”.
Setelah pembahasan “medium is the
message”, maka selanjutnya akan dibahas
mengenai konvergensi media. Dalam bukunya “Convergence Culture:
Where Old Media and New Media Collide”, Henry
Jenkins menjelaskan konvergensi, yaitu dimana segala macam bentuk dari
konten media ditempatkan dalam seluruh media
platform secara maksimal[2]. Terbentuknya konvergensi media dipengaruhi
oleh kebutuhan manusia – baik itu manusia secara individual
maupun sebuah perusahaan - untuk dapat menyebarluaskan ide-ide
yang dimilikinya dan dapat diterima oleh sebanyak-banyaknya orang. Fenomena ini
mendorong terciptanya teknologi baru yang merupakan intergrasi dari media-media
yang ada seperti, smartphone. Dan
jika dikaitkan dengan penyataan “medium is the message” diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa media platforms secara
keselurahan merupakan “perpanjangan tangan” dari masyarakat untuk mempermudah
komunikasi saat ini dan akan terus senan tiasa berubah seiring dengan
perkembangan zaman.
Terciptanya konvergensi media juga
sangat berpengaruh dalam dunia advertising.
New media, terutama internet, sangat mempermudah proses pencarian database dari target audiences-nya.
Dengan mengetahui persis siapa saja yang melihat, mengunjungi atau men-click laman mereka, maka pemasar akan
dengan mudah mengetahui siapa calon pembeli mereka dan apa saja yang mereka
minati melalui data pada internetnya. Selain itu, new media juga menciptakan
kebudayaan baru, dimana konsumen dapat ikut secara aktif berpartisipasi dan
membuat kontennya sendiri atau dinamakan participatory
culture. Fenomena ini dimanfaatkan dengan baik oleh Samsung dengan
campaignnya #IWriteInArabic sebagai promotion
tool untuk salah satu produk terbarunya yaitu Samsung Note 4
Dalam campaign
tersebut dapat dilihat, bahwa dengan adanya perubahan – berkurangnya penggunaan
huruf Arab – maka muncullah solusi dan inovasi baru yang berasal hanya dari
satu produk teknologi konvergensi media, yaitu Samsung Note 4 itu sendiri. Pada
campaign ini juga konsumen secara aktif dilibatkan, yaitu dengan ikut menyebarluaskan
pesan campaign #IWriteInArabic melalui platform Media Sosial Twitter. Selain itu, huruf-huruf Arab
tadi juga didesign ulang secara lebih modern untuk menyesuaikan target consumer Samsung, sehingga
semakin banyak konsumen yang ikut berpartisipasi dengan mengganti display picture pada lama Facebooknya.
Dengan melihat campaign diatas,
dapat dilihat bahwa bagaimana kedua pembahasan sebelumnya adalah sangat relevan
dan dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, dimana perubahan terjadi
hampir setiap hari dalam aspek apapun yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan
sosial masyarakat dan perkembangan teknologi & komunikasi masyarakat.
Referensi:
[1] Federman, M.
(2004) What is the Meaning of the Medium is the Message?
[2] Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old Media and New
Media Collide, (New York: New York University Press, 2006)