Creative Outdoor Billboard: Keripik Nangka
Oleh: Vania Alya Putri (1506720772)

Penjelasan:
  • ·         Pendekatan strategi kreatif yang saya pilih untuk konsep Outdoor Billboard ini adalah Strategi Generik dengan penekanan pada Diferensiasi Produk, yang mana menonjolkan perbedaan yang mencolok antara brand dan pesaingnya, namun tidak secara superior. Perbedaan utama antara produk Keripik Nangka dengan pesaingnya terletak pada proses pengolahan sehat yang coba ditawarkannya. Berbeda dengan pesaing yang diilustrasikan pada billboard diatas, meskipun memiliki rasa yang sama-sama enak, namun keripik Nangka jauh lebih baik dalam hal kualitas dan kesehatan.
  • ·         Ide kreatif atau Big Idea yang coba saya sampaikan pada Billboard ini adalah “Keripik Nangka merupakan snack ringan sehat namun tetap memiliki rasa yang enak, bahkan seenak junk food”. Selanjutnya, konsep yang saya gunakan untuk menyampaikan pesan tersebut adalah dengan membuat ilustrasi dari Keripik Nangka yang menggunakan packaging dari salah satu brand fast food yang populer dengan warna merahnya tersebut. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada audiens bahwa Keripik Nangka memiliki rasa yang enak, seenak brand fast food terkemuka tersebut. Selain itu, ilustrasi diatas juga didukung dengan copywriting yang semakin mempertegas bahwa Keripik Nangka memang memiliki rasa yang enak, namun tetap merupakan snack ringan yang baik untuk kesehatan
  • ·         Bahasa yang saya pilih adalah bahasa Inggris, karena segmentasi audiens mengenah keatas yang coba dijangkau oleh branding baru dari Keripik Nangka ‘Jackfruit Chips’ ini. Pemilihan konsep ini juga bertujuan untuk semakin menggeser pandangan audiens mengenai keripik Nangka yang hanya merupakan makanan oleh-oleh tradisional menjadi Keripik Nangka yang merupakan snack ringan sehat modern yang dapat di konsumsi untuk sehari-hari. Selain itu, bahasa Inggris dipilih juga karena sifatnya yang Universal sehingga diharapkan juga dapat menarik perhatian warga asing yang sekedar berlibur.
  • ·         Elemen-elemen utama yang terdapat dalam Billboard antara lain adalah ilustrasi Keripik Nangka dalam packaging fast food, Copywriting penjelasan singkat, Logo dari branding baru Keripik Nangka “Jackfruit Chips”, dan Logo 100% Cinta Indonesia, yang melambangkan bahwa produk ini merupakan produk asli Indonesia. Elemen yang terdapat dalam Billboard ini sengaja dibuat sederhana dan terfokus pada elemen utama yaitu ilustrasi Keripik Nangka didalam packaging Merah tersebut. Hal ini mempertimbangkan alasan bahwa biasanya sebuah Billboard dipasang pada jalan raya yang sibuk, yang mana para pengendara mobil/motor tidak akan memiliki waktu banyak untuk memperhatikan sebuah Billboard. Alasan yang sama juga berlaku pada mengapa Copywriting saya buat sesingkat mungkin agar audiens dapat langsung menerima pesan di Billboard dan menginterpretasikannya kemudian.
  • ·         Typografi yang digunakan dalam Billboard saya pilih untuk sederhana namun tetap balance, yang mana ‘berat’ disebelah kanan untuk menyeimbangi gambar yang besar di sebelah kiri. Font yang saya gunakan adalah Brandon Printed untuk memberikan kesan raw dan industrial, yang juga selaras dengan logo brand.
  • ·         Warna yang saya pilih untuk Billboard ini adalah warna Hijau dengan sedikit gradient untuk background, karena Hijau merupakan warna komplementer dari warna Merah, yang mana merupakan warna dari packaging fast food yang saya pilih. Selanjutnya saya memilih warna sederhana Putih untuk tagline dari Billboard agar memudahkan audiens untuk menangkap dan membaca pesan. Logo memiliki warna Hitam, untuk memberikan keserasian dengan warna Putih dan karena mudah dibaca.
  •  





Public Service Announcement - Child Trafficking

Gianella Carmella        (1506720601)
Vania Alya Putri           (1506720772)
Karina Dwi Pramesti    (1506720690)
Triana Dewi Iriani        (1506720620)

Penjelasan :
Poster ini merupakan bentuk campaign tentang child trafficking di Indonesia yang keberadaannya masih kurang diperhatikan oleh masyarakat. Padahal setiap tahunnya, jumlah kasus perdagangan anak selalu mengalami kenaikan. Pada dasarnya perdagangan anak adalah perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, atau kecurangan. Di Indonesia kasus yang sering terjadi menyangkut perdagangan anak adalah anak-anak yang di perdagangkan dijadikan budak, pekerja seks komersil, pengemis, atau perdagangan bayi.
Berangkat dari kasus tersebut, kami membuat poster yang terdiri dari empat desain. Masing-masing mewakili kasus yang marak terjadi di Indonesia terkait perdagangan anak. Keempat desain tersebut didominasi warna merah yang bermakna berani, dan tanda peringatan. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian masyarakat bahwa kasus ini harus segera kita perhatikan. Sementara itu, objek pada poster berwarna hitam karena warna hitam merepresentasikan kegelapan, ketakutan, emosional, dan tanda berakhirnya kehidupan. Ini melambangkan betapa kasus ini dapat membunuh generasi muda yang mungkin bisa menjadi harapan generasi bangsa Indonesia. Warna tersebut kami pilih karena sesuai dengan situasi yang terjadi saat ini bahwa perdagangan anak adalah tindakan yang ilegal dan sebagai peringatan untuk masyarakat agar lebih aware dan peduli terhadap isu ini.
Elemen utama yang terdapat pada poster ini adalah gambar bayi dan anak kecil yang menjadi objek perdagangan. Kemudian, di setiap anak dan bayi tersebut terdapat price tag yang menggambarkan bahwa setiap anak tersebut betul-betul diperjual belikan layaknya barang. Jenis font yang kami gunakan untuk poster ini adalah jenis Sans Serif agar memberikan kesan yang tegas. Kemudian, kami memasukan hashtag atau tagar #IAMNOTBUYING yang secara harfiah berarti saya tidak membeli. Ini bermakna agar masyarakat turut menolak kegiatan perdagangan anak di Indonesia. Elemen pendukung seperti trolley belanja, handphone, dan gambar psk dewasa digunakan untuk menegaskan pesan yang ingin kita sampaikan.

Personal Logo - Karina Pramesti
Oleh: Vania Alya Putri (1506720772)

Penjelasan:
  •        Konsep yang saya pilih untuk Personal Logo ini adalah konsep minimalis dengan sedikit tambahan aksen dan tekstur pada beberapa elemen dari logo ini, sehingga logo ini dapat merepresentasikan pribadi Nina yang sederhana namun tetap memiliki keunikannya sendiri yang membedakannya dengan individu lain.
  •     Elemen-elemen utama yang membentuk Personal Logo ini antara lain adalah background utama; illustrasi sederhana sebagai simbol utama individu Nina; illustrasi lingkaran sebagai badge dari simbol utama; dan yang terakhir adalah typografi dari nama panjang Nina yaitu “KARINA PRAMESTI”. Elemen yang terdapat pada Logo ini sengaja dibuat sesederhana mungkin untuk mendapatkan keselarasan dari pribadi dan cara berpakaian Nina yang cenderung minimal namun tetap elegan dengan sentuhan aksesoris yang dilambangkan dengan pemilihan warna Logo ini.
  •        Simbol utama dari Personal Logo ini merupakan sebuah illustrasi sederhana dari Nina, yaitu seorang perempuan yang dalam kesehariannya selalu mengenakan Hijab, sehingga hal ini merupakan salah satu faktor utama yang membentuk identitas dan ciri khas dari pribadi Nina. Illustrasi yang menjadi simbol utama dalam Logo ini sengaja saya buat se-minimalis mungkin untuk menghidari kesan yang terlalu ramai atau over, karena hal ini tidak sesuai dengan kepribadian Nina, setidaknya menurut pendapat saya.   
  •          Warna yang saya pilih untuk Personal Logo ini antara lain adalah warna Ecru dengan tekstur sederhana dari kertas sebagai background utama dari Logo untuk memberikan kesan yang sederhana namun tetap memberikan ciri khas tertentu. Selanjutnya untuk illustrasi dari lingkaran yang mengelilingi simbol utama, saya memilih warna Rose Gold untuk memberikan kesan yang feminim dan elegan. Dan yang terakhir saya memilih warna Hitam untuk elemen utama, yaitu illustrasi Nina dan typografi dari nama lengkap Nina, untuk memberikan kontras dari warna-warna lainnya namun tetap minimalis untuk memberikan kesan yang bersifat bold namun tidak berlebihan. Pemilihan warna-warna tersebut saya pilih untuk menyesuaikan dengan pribadi, penampilan fisik, dan sifat dari Nina.
            Konvergensi media memunculkan dua konsep baru dalam kebudayaan manusia, dua diantaranya adalah konsep Transmedia Storytelling dan Pop Cosmopolitanism.
Transmedia Storytelling
            Lahirnya konvergensi media memungkinkan beberapa media platform yang berbeda untuk terhubung satu sama lain dan menciptakan sebuah media platform yang luas dan terintegrasi, sehingga lahirlah sebuah konsep Transmedia Storytelling. Transmedia Storytelling merupakan proses di mana unsur-unsur yang tidak terpisahkan dari sebuah cerita fiksi disebarkan secara sistematis di beberapa channel, dengan tujuan menciptakan pengalaman hiburan terpadu dan terkoordinasi (Jenkins, 2007). Konsep ini sering ditemukan pada produksi global blockbuster beserta franchise-nya, dimana jalannya sebuah cerita fiksi dapat dikemas secara terintegrasi dan didistibusikan untuk beragam channel berbeda mulai dari Buku, Film, Video Games, sampai Wahana pada sebuah Theme Park.

Menurut Jenkins (2007), cerita Transmedia tidak didasarkan pada karakter individu atau plot yang spesifik, melainkan sebuah dunia fiksi yang kompleks yang dapat memuat beberapa karakter yang saling terkait beserta cerita mereka masing-masing. Dunia fiksi yang dihasilkan dari cerita Transmedia tersebut seringkali begitu kompleks sehingga menyisakan potential plot yang tidak dapat sepenuhnya diceritakan. Hal ini mendorong para pembacanya untuk mengembangkan cerita tersebut melalui spekulasi mereka sendiri, seperti yang sering ditemukan dalam istilah fan fiction.
Pop Cosmopolitanism
            Perubahan yang terjadi pada jalannya arus informasi, media dan kebudayaan merupakan salah satu dampak yang disebabkan oleh konvergensi media. Menurut Jenkins (2004) terdapat dua kekuatan utama yang saling mempengaruhi arus informai di era konvergensi, yaitu corporate corvengece dan grassroots convergence. Corporate convergence merupakan konglomerasi media yang mengatur arus konten media pada beragam platform, sedangkan Grassroots convergence merupakan perananan penting dari pengguna media digital dalam memproduksi, mendistribusi, dan menerima konten media.  Kedua kekuatan ini menghasilkan apa yang disebut dengan global convergence, yaitu arus multidirectional dari kebudayaan di seluruh dunia (Jenkins, 2004).
            Global convergence mendorong terbentuknya pop cosmopolitanism, yang merujuk pada bagaimana arus pertukaran budaya (popculture) dapat membentuk bentuk baru kesadaran global dan kompetensi budaya (Jenkins, 2004). Sebelumnya, Cosmopolitans itu sendiri dapat diartikan sebagai individu yang merangkul perbedaan budaya, dimana ia berusaha melepaskan diri dari budaya masyarakat lokal mereka untuk memasuki lingkungan budaya luar yang lebih luas. Salah satu contoh dari Pop Cosmopolitanism adalah bagaimana para remaja di Indonesia seringkali merujuk pada budaya Amerika, dan sebaliknya, para remaja Amerika yang sering membedakan diri mereka dengan merujuk pada budaya Asia khususnya Jepang.

Contoh dalam Dunia Periklanan


            Dalam dunia periklanan, khususnya dalam bidang Marketing, salah satu perusahaan entertainment terbesar yang terbilang sukses dalam bidang Transmedia Storytelling sekaligus Marketing kontennya adalah Marvel Universe. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana setiap karakter memiliki ceritanya sendiri, dan cerita-cerita tersebut saling berhubungan dan saling melengkapi sehingga membentuk sebuah dunia fiksi yang kompleks.


Marketingnya itu sendiri terletak pada bagaimana dalam setiap cuplikan akhir film garapan Marvel, terdapat sebuah hint atau clue atas apa yang akan terjadi pada film selanjutnya, yang biasa disebut Post-Credit Scene. Strategi ini dinilai efektif karena terbukti dapat mendorong penontonnya untuk mencari kelanjutan cerita dan akhirnya memutuskan untuk menyaksikan Sequel dari film tersebut.


            Contoh lain yang masih berhubungan dengan blockbuster Hollywood dapat ditemukan pada Advertising yang dilakukan oleh salah satu perusahaan media yang terbilang baru di Indonesia, yaitu iFlix:



Dalam beberapa Advertisement iFlix, baik itu berupa video, maupun poster (konvensional maupun digital), cuplikan acara TV maupun Film yang ditayangkan untuk menarik perhatian target audiences-nya adalah produk media dari Amerika. Hal ini berhubungan dengan konsep Pop Cosmopolitanism yang menunjukkan bahwa sebagian besar warga Indonesia, lebih memilih acara hiburan Barat khususnya Amerika dibanding produk media negaranya sendiri. Fenomena ini pun dilihat sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan dalam bidang marketing dari perusahaan iFlix tersebut.

Referensi:
Jenkins, H. (2007) 'Transmedia Storytelling 101'
Jenkins, H (2004). 'Pop cosmopolitanism: Mapping cultural flows in an age of media convergence'. In M. Suarez-Orozco & D. Qin-Hilliard, Globalization: Culture and Education in the New Millennium (pp 114-140). Ewing, NJ: University of California Press.
            Konvergensi media dalam perkembangannya telah menciptakan lingkungan Web 2.0, yang mana memungkinkan terjadinya kolaborasi online dan terjadinya proses saling berbagi informasi antar pengguna. Hal ini berhubungan dengan konsep produsage, yang sedikit demi sedikit mulai menggeser era industri ke arah era informasi, dimana para pengguna dengan bebas dapat memproduksi kontennya sendiri ataupun ikut dalam pembuatan dan praktik pengembangan konten kolaboratif yang ditemukan di lingkungan informasi kontemporer (Bruns, 2007). User-led content saat ini berlangsung di berbagai lingkungan online. Mulai dari konten individual yang dimuat di lingkungan blog, sampai situs kolaboratif terpusat seperti Wikipedia. Dari beragam lingkungan online tersebut, sering ditemukan adanya collective intelligence, dimana setiap orang memberikan informasi yang ia ketahui dan mengambil informasi yang tidak ia ketahui dari orang lain, karena tidak ada manusia yang mengetahui segala sesuatunya sendiri (Jenkins, 2006). Terbentuknya collective intelligence ini, mengimplikasikan cara-cara baru dari pada pengguna internet dalam mengumpulkan dan menyatukan sebuah informasi menjadi sebuah informasi yang utuh dan komprehensif. 

            Lingkungan Web 2.0 berhubungan erat dengan lairnya sebuah konsep baru yaitu Citizen Journalism, dimana pengguna dapat berperan sebagai jurnalis dan memproduksi beritanya sendiri, baik itu melalui media pribadinya seperti blog, maupun melalui kanal lain seperti misalnya kompasiana. Dalam praktiknya, tidak jarang penulisnya bukan berasal dari ‘background’ jurnalisme, namun dengan mudahnya distribusi global memungkinkan pendapat alternatif dari media besar ini untuk terjadi. Citizen journalism dapat juga dikatakan sebagai alternative journalism, yang mana sering membangun, memperdebatkan, dan mengkritik laporan jurnalistik-jurnalistik dari media mainstream. Namun, kritik akan minimnya ‘gatekeeper’ dan kurangnya akurasi yang ada didalam citizen journalism, dikhawatirkan akan membentuk pemahaman yang keliru bagi para pembacanya. Meskipun biasanya tersedia kolom komentar, sehingga pengguna lain dapat memberikan tanggapan dan masukan atau kritikan terhadap suatu berita amatir tersebut, tetapi pentingnya prinsip verifikasi dan akurasi dalam jurnalistik juga harus menjadi pertimbangan utama sebelum sebuah berita dipublikasikan.  
            Selain lahirnya citizen journalism di ranah digital, media massa konvensional juga mulai bertransformasi ke arah digital. Hal ini didorong oleh potensi besar yang dimiliki oleh media berbasis online. Besarnya angka pengguna internet di Indonesia dan dunia, menjadi faktor utama bergesernya media basis cetak ke arah online. Berhubungan dengan periklanan, komoditas yang ditawarkan media online kepada para pengiklan adalah traffic. Semakin tinggi traffic sebuah media online, maka semakin tinggi angka pendapatan yang akan diterima oleh sebuah media online. Selain itu, permintaan dari para pengguna yang tinggi akan sesuatu yang serba cepat dan ‘gratis’ juga mempengaruhi pergeseran yang terjadi pada media massa konvensional ke ranah digital.

Referensi:
Bruns, Axel (2007) Produsage: Towards a Broader Framework for User-Led Content Stanford d.School, An Introduction to Design Thinking: Process Guide https://dschool.stanford.edu/sandbox/groups/designresources/wiki/36873/attachments/74b3d/ModeGuideBOOTCAMP2010L.pdf
Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old Media and New Media Collide, (New York: New York University Press, 2006)